Suara “klotok-klotok” terdengar jelas ketika kami singgah di Kampoeng Sutera Semapange yang terletak di Desa Pakkanna, Kecamatan Tanasitolo, Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sulawesi Selatan. Rupanya ini adalah suara saat para penenun sutra menenun di kolong rumah panggung mereka.
Ya, sesuai namanya, Kampoeng Sutera Semapange ini memang terkenal sebagai pusatnya para perajin tenun, terutama tenun sutra. Hampir setiap keluarga memiliki usaha ini, yang telah dilakukan selama turun temurun sejak beberapa belas tahun lalu.
Salah satu perajin yang kami temui adalah Juwita. Wanita muda yang memiliki rumah produksi dan galeri Joewita Silk ini mengaku telah memiliki usaha ini sejak lama, yang diwariskan dari ibunya. Namun, seperti halnya para penenun lain di kampung ini, ia tak pernah tahu pasti awal mula usaha tenun di sini. Yang jelas, menurutnya, ilmu menenun ini diwariskan dari generasi ke generasi. “Mungkin sejak 3 atau 4 generasi yang lalu,” tukasnya.
Sutra memang sudah menjadi komoditas perdagangan di kota ini. Bahkan, branding sebagai Kota Sutera sudah terpapar di mana-mana. Di perbatasan kota, di spanduk-spanduk, bahkan di papan nama kota sudah tertera branding ini.
Selain di Kampoeng Sutera Semapange, pusat perdagangan sutra Wajo yang terkenal adalah Pasar Sentral. Di lantai 2 pasar ini, terdapat belasan toko yang menjual sutra buatan para perajin Wajo.
“Yang beli macam-macam. Kebanyakan dari Makassar, tapi ada juga yang dari Jawa,” tukas salah satu pedagang yang membuka toko di sini. Ia mengaku pelanggannya dari Makassar biasanya menjual kembali sutra itu di sana.
Penanaman Murbei, Upaya Pemerintah Bangkitkan sutra
Walaupun sutra telah bertahun-tahun ada di sini, terjadi penurunan produksi yang cukup tajam. Hal ini salah satunya karena bahan baku—benang sutra—asli Wajo makin menipis sehingga akhirnya para perajin mengimpor benang dari Tiongkok atau India.
“Dulu di Wajo ini banyak pohon Murbei (sebagai makanan ulat sutra, red). Bahkan katanya di rumah-rumah penduduk ada pohon Murbei. Sekarang ini susah sekali dapatnya,” cerita Juwita yang akhirnya memutuskan untuk mengimpor benang dari Tiongkok.
Hal ini pun disadari oleh Bupati Wajo, Dr. H. Amran Mahmud, S.Sos., M.Si. Ditemui di rumah jabatannya, Amran mengatakan bahwa pemerintah Kabupaten Wajo, dengan dukungan dari Provinsi, telah mengupayakan penanaman Murbei di beberapa tempat di Wajo.
“Hingga tahun ini, total ada 2,5 juta pohon murbei kami tanam di Wajo. Dan nsya Allah tahun ini akan panen kokon (kepompong ulat, red.) perdana setelah 20 tahun tidak ada produksi,” tukasnya.
Selain menanam murbei, Pemkab bekerja sama dengan BRIN juga berupaya membuat laboratorium untuk mengembangkan embrio ulat sutra. Selama ini, embrio ulat sutra ini diimpor dari China. Namun berkat penelitian dan pengembangan ini, direncanakan Wajo akan bisa memproduksi embrio ulat sutra ini sendiri di akhir tahun 2023 ini.
Banyak PR Menanti
Memang, masih banyak PR pemerintah soal pengembangan sutra ini. Misalnya saja soal jumlah penenun yang makin lama makin berkurang. Hal ini disebabkan, generasi muda sekarang ini tidak punya keinginan untuk meneruskan usaha tenun milik orangtua mereka.
Keindahan sutera Wajo tampak jelas di galeri Kampoeng Sutera Semapange ini
Hal ini diakui salah satu penenun yang kami temui di Kampoeng Sutera Semapange yang tidak punya lagi generasi penerus karena anak gadisnya enggan menenun. Padahal dulu, bagi masyarakat Bugis Wajo, belajar menenun adalah sebuah kebanggaan dan kewajiban. Dan dalam tradisi masyarakat Bugis Wajo, gadis yang tidak bisa menenun dianggap belum sempurna menjadi perempuan dewasa.
Imbas dari berkurangnya jumlah penenun—dan semakin jarangnya bahan baku—ini adalah jumlah produksi yang juga berkurang sehingga akhirnya banyak toko yang tidak menjual sutra lagi. Mereka lebih memilih menjual sutra KW yang lebih murah dan mudah didapatkan.
Hal ini coba diatasi Pemkab Wajo dengan menggaet SMK-SMK di Wajo untuk memasukkan kurikulum menenun di sekolah mereka. Pemkab juga berupaya memberikan pelatihan-pelatihan untuk para perajin.
Hal lain yang menyebabkan berkurangnya minat menggunakan sutra asli adalah harganya yang cukup mahal ketimbang sutra KW. Karena itulah Pemkab berupaya meningkatkan kembali minat penggunaan sutra ini dengan berbagai cara. Misalnya saja dengan mewajibkan penggunaan sutra di kalangan ASN, membuat acara-acara untuk memperkenalkan sutra, menggaet para desainer untuk mempopulerkan sutra, dan sebagainya.
Pengembangan Kampung Wisata
Hal lain yang masih menjadi pekerjaan rumah Pemkab Wajo adalah pengembangan sutra bukan hanya sebagai komoditas, namun sebagai destinasi wisata. Kampoeng Sutera Semapange misalnya, yang punya potensi besar sebagai sentra destinasi wisata belanja tenun di Wajo.
Namun memang banyak hal yang perlu dikembangkan lagi di sana. Misalnya saja soal infrastruktur dan petunjuk ke kampung ini. Beberapa ruas jalan tampak masih rusak dan papan petunjuk menuju tempat ini pun sangat minim. Wisatawan, yang datang mandiri tanpa didampingi tur, akan kesulitan mengeksplorasi tempat ini apalagi untuk melihat masyarakat yang menenun.
Tantangan inilah yang diharapkan dapat dijawab Pemerintah Kabupaten Wajo dengan mengikuti Gerakan Menuju Smart City 2023. Melalui gerakan ini, jajaran aparat Pemerintah Kabupaten Wajo mendapat bimbingan teknis dari praktisi dalam menyusun program berbasis smart city. Mereka dibimbing dalam mengidentifikasi tantangan dan menjawabnya dengan memanfaatkan inovasi dan digitalisasi.
Harapannya, seluruh inisiatif yang lahir dari Gerakan Menuju Smart City 2023 dapat menjawab tantangan sekaligus meningkatkan potensi Kabupaten Wajo. Termasuk, mengembalikan kembali kejayaan Wajo sebagai Kota Sutera.
(Penulis: Rahma Yulianti)