Tahun 2018 menjadi masa yang berat bagi jejaring raksasa Facebook. Pasalnya, sejak awal tahun ini, Facebook selalu bergelut dengan beragam skandal yang sebagian melibatkan isu politik AS-Rusia.
Mulai dari bulan Februari, di mana Facebook diduga ikut berperan dalam intervensi Rusia pada pemilu AS tahun 2016, lalu skandal besar Cambridge Analytica.
Deretan skandal terus bergulir hingga kampanye hitam terhadap George Soros yang menyebabkan seruan Mark Zuckerberg untuk mundur dari posisinya sebagai chairman (pimpinan direksi) Facebook.
Hampir setiap bulan sepanjang tahun 2018, Facebook selalu menghadapi skandal. Paling tidak ada 21 skandal yang menerpa dan sebagian di antaranya masih akan berlanjut pada tahun depan.
Apa saja? Berikut ini daftarnya, sebagaimana dihimpun Wired :
1. Jadi alat intervensi Rusia di pemilu AS 2016 (Februari)
Robert Mueller, pengacara khusus yang melakukan investigasi intervensi Rusia dalam pemilu AS 2016 menuding Facebook ikut berperan dalam kasus ini. Ia mengatakan bahwa ada 13 pegawai Internet Research Agency (IRA) yang menyamar sebagai warga negara AS.
IRA adalah perusahaan yang bertindak untuk kepentingan bisnis dan politik Rusia di dunia online. Mereka kemudian melakukan operasi gelap di dunia maya dengan menciptakan persona di Instagram dan Facebook.
Tujuannya adalah menciptakan perpecahan antar-warga Amerika Serikat dan mendukung kemenangan Trump. Mereka mengendalikan berbagai akun serta grup di media sosial untuk menarik perhatian masyarakat AS.
Tak hanya itu, ke-13 pegawai IRA juga disebt menunggah konten politik di semua media sosial AS sebagai upaya menjatuhkan Hillary Clinton, kandidat presiden lawan Donald Trump ketika itu.
Laporan terakhir dari kasus ini adalah bukan hanya Facebook yang berperan dalam pemilu AS 2016. Senat AS juga mengklaim bahwa propaganda juga dilakukan sejumlah media sosial yakni YouTube, Tumblr, Twitter, Google+ dan PayPal.
2. Propaganda kekerasan terhadap Muslim di Rohingya (Maret)
Penyidik Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh Facebook berperan besar dalam pembantaian masal Muslim Rohingya di Myanmar. Penyidik yang tergabung dalam Misi Pencari Fakta Internasional PBB ini menyebut Facebook gagal menahan penyebaran berita palsu tentang Muslim Rohingya.
Facebook pun mengakui tuduhan tersebut. Manajer Kebijakan Produk untuk HAM dan Kebebasan Ekspresi Facebook, Alex Warofka mengatakan bahwa Facebook belum maksimal untuk mencegah propaganda yang mengarah ke kekerasan.
Ia pun berjanji untuk memperbarui kebijakan konten yang mencegah ancaman kekerasan, termasuk misinformasi yang memicu kekerasan. Sayangnya, masalah semacam ini tak hanya terjadi di Myanmar.
Facebook juga menghadapi masalah serupa di Sri Lanka, terkait kekerasan anti-Muslim. Sri Lanka bahwa meminta penyelenggara jasa internet dan operator seluler setempat untuk memblokir Facebook dan WhatsApp.
Papua Niugini juga disebut sempat akan memblokir Facebook.
3. Kebocoran data Cambridge Analytica (Maret)
Kasus ini menjadi salah satu mega skandal Facebook selama tahun 2018 ini. Data pribadi milik 87 juta pengguna Facebook bocor ke perusahaan pihak ketiga yakni Cambridge Analytica.
Data pengguna dikais melalui aplikasi kepribadian bernama #yourdigitallife. Data tersebut disinyalir digunakan untuk kepentingan politik demi memenangkan Donald Trump dalam kontetasi pemilu AS tahun 2016.
Meski disebut disalahgunakan untuk kepentingan pemilu AS, nyatanya kebocoran data juga menimpa pengguna Facebook di Indonesia. Facebook mencatat setidaknya ada 1 juta data penggunanya di Indonesia yang terdampak pencurian data ini.
Akibat kejadian ini, bos besar Facebook, Mark Zuckerberg pun harus menghadap wakil rakyat AS untuk memberikan keterangan terbuka. Di Inggris, Komisi Informasi setempat juga menjatuhkan denda ke Facebook karena melanggar undang-undang perlindungan data pengguna.
4. Zuckerberg dipanggil Kongres AS (April)
Setelah skandal Cambridge Analytica mencuat, Zuckerberg menghadap wakil rakyat AS di Capitoll Hill, Washington DC, AS pada 10-11 April lalu. Zuckerberg dicecar beragam pertanyaan selama lima jam oleh para senator yang secara garis besar membahas soal privasi, keterlibatan Rusia, bagaimana cara kerja algoritma sang media sosial, model bisnis yang dijalankan Facebook, hingga isu monopoli.
Uniknya, tak hanya terkait masalah serius, banyak pula para senat yang berkonsultasi perihal IT kepada sang pemilik Facebook langsung. Misalnya, apakah Facebook bisa mengetahui apabila ada pengguna yang mengirim e-mail melalui WhatsApp.
Pertanyaan tersebut terdengar konyol mengingat WhatsApp adalah aplikasi pesan instan, bukan platform berkirim surel.
5. Iklan propaganda politik (Mei)
Partai Demokrat AS merilis 3.500 iklan di Facebook dan Instagram yang terkait IRA. Iklan tersebut masih berkaitan dengan propaganda politik untuk memenangkan Trump di pemilu AS 2016.
Selain itu, laman yang tekait dengan Rusia tersebut menargetkan ekstensi peramban Chrome bernama FaceMusic yang menyasar para remaja putri AS. Daily Beast kemudian mengatakan bahwa ekstensi tersebut telah terinfeksi malware.
6. Pemblokiran iklan bertema LGBT (Mei)
Facebook kembali menghadapi masalah terkait iklan di paltformnya. Kali ini giliran kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang dibuat marah, lantaran Facebook memblokir iklan mereka.
Sistem Facebook memblokir iklan komedian gay asal Los Angeles yang dianggap sebagai iklan politik, meski dalam iklannya tidak memuat advokasi atau pandangan eksplisit politik tertentu.
Laporan Washington mengatakan bahwa ada puluhan iklan yang bertema "LGBT" dan kata-kala lain yang akhirnya diblokir Facebook, dikategorikan sebagai iklan politik.
Facebook mengatakan bahwa pemblokiran tesebut dikarenakan kesalahan sistem, bukan kesengajaan. Pihaknya beralasan sedang melakukan kebijakan konten yang baru untuk menghapus segala iklan politik, sebagai kelanjutan tuduhan keterlibatan Facebook dalam iklan politik Rusia dalam pemilu AS 2016.
7. Tudingan menyebar data pengguna ke vendor perangkat (Juni)
Setelah kebocoran data ke pihak ketiga Cambridge Analytica, Facebook juga dilaporkan membagikan data pribadi pengguna ke sejumlah vendor ponsel dan tablet. Laporan New York Times menyebut setidaknya ada 60 vendor smartphone dan tablet yang berkongsi dengan Facebook terkait data pengguna.
Beberapa vendor yang disebut adalah Apple, Amazon, Microsfot, dan Blackberry. Baca juga: Facebook Beri Akses Data Pengguna ke 60 Vendor Smartphone Kerja sama itu memungkinkan fitur Facebook terintegrasi langsung dengan perangkat atau "device-integrated API" buatan 60 vendor gadget.
Data yang dikumpulkan di antaranya tentang agama, orientasi politik, serta agenda yang akan dihadiri pengguna. Laporan itu menyebut bahwa akses data ini bisa dilakukan tanpa memerlukan ijin dari pengguna dan tanpa mereka sadari.
8. Akses aplikasi pihak ketiga terhadap data pengguna masih terbuka (Juli)
Setelah memberi kasaksian kepada anggota kongres bulan April, Facebook kembali menyampaikan keterangan dalam sebuah laporan setebal 700 halaman kepada House of Energy and Commerce Committee.
Facebook mengaku beberapa aplikasi masih memiliki akses terhadap data pengguna selama enam bulan terakhir. Padahal, sebelumnya Facebook memastikan telah mengubah kebijakannya dengan menutup akses aplikasi ketiga ke data teman pengguna pada tahun 2015.
Beberapa aplikasi yang disebut adalah aplikasi kencan online Hinge dan layanan musik streaming seperti Spostify. Namun yang paling mencengangkan adalah aplikasi besutan perusahaan besar Rusia, Mail.ru.
Masuknya Mail.ru membuat ketar-ketir Washington, sebab investor utama perusahaan tersebut adalah Alisher Usmanov, seorang pebisnis yang dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
9. Akun palsu terkait Rusia (Juli)
Facebook menutup 32 akun dan laman yang terkait dengan kelompok propaganda IRA. Jejaring raksasa tersebut bekerja sama dengan penegak hukum terkait untuk menentukan asal kampanye yang disebar IRA.
Kampanye yang disebar disebut serupa dengan kampanye propaganda saat pemilu AS 2016.
10. Saham anjlok (Juli)
Setelah kasus Cambridge Analytica terkuak, para investor pun ketar-ketir. Saham Facebook sempat anjlok sejak 16 Maret 2018 dengan valuasi yang lenyap 80 miliar dollar AS.
Namun berkat kelihaian Zuckerberg yang berhasil menenangkan para investor, saham Facebook kembali naik 4,2 persen pada minggu pertama bulan April. Zuckerberg mengatakan kepada investor bahwa skandal kebocoroan data tidak memengaruhi jumlah pengguna Facebook.
Akan tetapi, saham Facebook kembali merosot 20 persen pada 25 Juli karena pertumbuhan pengguna melambat. Facebook memprediksi pertumbuhan pendapatan akan tetap pelan hingga akhir tahun 2019.
11. Pemblokiran akun dan laman biang hoaks Alex Jones (Agustus)
Pertengaan tahun 2108, Facebook mengikuti jejak Apple yang lebih dulu menarik podcast Alex Jones, seorang yang dikenal sebagai biang hoaks dan kerap memunculkan teori konspirasi kontroversial.
Facebook menghapus empat laman yang berafiliasi dengan Alex Jones yang dianggap melanggar menyebar ujaran kebencian. Aksi ini kemudian diikuti platform lain seperti YouTube dan pada akhirnya Twitter, yang sempat enggan ikut menutup akun Jones.
Sayangnya, aksi penutupan akun Alex Jones ramai-ramai oleh perusahaan Silicon Valley ini memicu protes, terutama dari pendukung sayap kanan yang konservatif. Sebab mereka adalah para pendukung Alex Jones yang juga diketahui dekat dengan Presiden Donald Trump.
12. Penutupan akun dan laman "aspal" Iran (Agustus)
Facebook juga menghapus jaringan dari akun dan laman asli tapi palsu (aspal), yang terkait ke media pemerintah Iran. Aktivitas dunia maya kelompok tersebut kepergok oleh firma keamanan siber FirmEye.
Pada bulan Oktober, Facebook kembali menemukan 82 akun, laman, dan group yang terkait dengan Iran namun menyamar sebagai warga negara AS atau Inggris. Polanya hampir sama dengan yang pernah dilakukan IRA sebelumnya.
13. Intoleransi di lingkup internal (Agustus)
Sebuah laporan dari New York Time menyebut bahwa sebuah memo beredar di kalangan internal manjaemen Facebook. Memo tersebut berjudul "Kami Memiliki Masalah dengan Keberagaman Politik".
Salah satu teknisi senior di Facebook, Brian Amerige mengunggah sebuah tulisan. "Kami (Facebook) adalah sebuah perusahaan monokultur secara politik yang intoleran terhadap perbedaan pandangan," tulisnya.
Lebih lanjut ia menulis, "Kami mengklaim menyambut semua perspektif, tapi cepat untuk menyerang - kerap secara bergerombol - siapapun yang mengungkapkan pandangan yang dianggap berseberangan dengan ideologi kiri".
Sejak unggahan itu ramai diperbincangkan, lebih dari 100 pegawai Facebook bergabung dengan Amerige untuk membuat grup online bernama "Fb'ers for Political Diversity"
14. Bias gender dalam iklan (September)
American Civil Liberties Union, sebuah lembaga swadaya yang berorientasi pada hak kebebasan individu mengajukan gugatan ke Komisi Kesetaraan Kesempatan Pekerja. Laporan yang diajukan terkait dengan salah satu alat Facebook yang digunakam menargetkan iklan.
Mereka menganggap alat tersebut bias gender. Sebab para pengusaha bisa beriklan dengan menentukan target sesuai jenis kelamin. Facebook pernah mengalami masalah serupa sebelumnya yang mengijinkan pengiklan mengecualikan etnis tertentu.
Pada bulan Agustus, pengadilan mengabulkan gugatan terhadap praktik Facebook ini.
15. Pendiri Instagram mundur (September)
Facebook kembali kehilangan salah satu pejabat tingginya. Setelah tahun lalu pendiri WhatsApp, Brian Acton mundur dan disusul Jan Koum, kini giliran pendiri Instagram melakukan hal yang sama.
Adalah duo Kevin Systrom dan Mike Krieger yang sebelumnya menjabat sebagai CEO Instagram. Keduanya merupakan pendiri Instagram sebelum akhirnya diakuisisi Facebook pada tahun 2012.
Tidak jelas alasan keduanya mundur. Mereka hanya mengatakan ingin rehat dan mencoba hal baru. "Anda tidak mungkin meninggalkan pekerjaan karena semuanya luar biasa," tulis Kevin dalam rilis Instagram.
Namun rumor beredar bahwa mundurnya Systrom dan Krieger lantaran dominasi Zuckerberg sebagai orang nomor satu di perusahaan Facebook yang menaungin Instagram dan WhatsApp.
Sebab, di bulan yang sama, Brian Acton buka-bukaan bahwa alasanya mundur dari Facebook karena kekuasaan Zuckerberg dan model bisnis yang dijalankan. Mundurnya Krieger dan Systrom disusul pendiri Oculus, yakni Palmer Luckey.
16. Data 30 juta pengguna dibobol peretas (September)
Sekelompok hacker mengekploitasi serangkaian bug yang membuka akses ke 30 juta akun Facebook. Pembobolan ini memungkinkan para hacker mengambil alih akun mereka dan membuka akses ke aplikasi pihak ketiga yang menggunakan log in Facebook. Atas kasus ini, Facebook mengatakan bekerja sama dengan FBI untuk mengidentifikasi para pelaku.
17. "Mark up" jumlah penonton video
Pada tahun 2016, Facebook mengklaim bahwa rata-rata waktu menonton penggunanya meningkat. Namun akhirnya Facebook mengakui telah melebih-lebihkan angkanya. Hal itu membuat geram para pengiklan sekaligus penerbit yang mulai berbondong-bondong berpindah haluan ke konten video.
Faceook diketahui mengetahui miskalkulasi ini sejak lama sebelum akhirnya terkuak media. Akhirnya para pengiklan menggungat Facebook atas "markup" matrik penonton video di platform Facebook.
Namun Facebook menanggapi bahwa gugatan tersebut tidak berdasar.
18. Tudingan menutupi Skandal Rusia (November)
Lagi-lagi Facebook diseret ke pusaran politik Rusia-AS. Pada bulan November, Chief Operating Officer Facebook, Sheryl Sandberg disebut menutup bukti intervensi Rusia pada pemilu AS 2016.
Beberapa laporan menyebut Sandberg murka para kepala keamanan siber, Alex Stamos. Ia menuduh Stamos sembarangan melakukan inevstigasi kasus tersebut tanpa izin. Sandberg juga disebut berteriak kepada Stamos karena ia mengungkap terlalu banyak informasi ke beberapa anggota dewan.
Pengakuan tersebut dianggap Sandberg sebagai sebuah pengkhianatan. Dalam laporan yang sama disebutkan pula Facebook diam-daim menggunakan jasa firma Public Relation bernama Definers Public Affairs untuk melakukan kampanye hitam terhadap George Soros yang sering mengkritik Facebook.
Akibat laporan ini, beberapa investor pun meminta Zuckerberg untuk melepas jabatan sebagai chairman.
19. Aplikasi bikini baru ketahuan (Desember)
Pada tahun 2015, pengembang sebuah aplikasi yang memungkinkan pengguna mencari foto pengguna berbikini, menggugat Facebook di pengadilan California. Aplikasi bernama Pikinis yang dikembangkan perusahaan bernama Six4Three itu mengaku bahwa aplikasinya rusak setelah Facebook mengganti kebijakan.
Pikinis harus ditutup karena Facebook telah megubah pengaturan privasi, yang mencegah para pengembang memanfaatkan data pengguna tanpa mereka sadari. Kebijakan itu membuat aplikasi tersebut kini mati.
Ternyata, gugatan tersebut berjalan diam-diam dan baru ketahuan akhir November lalu setelah parlemen Inggris menyita dokumen yang telah disegel tersebut dari Six4Three.
Ted Kramer, pendiri Six4Three yang membuat aplikasi Pikinis justru menghadapi masalah hukumnya sendiri setelah menyerahkan dokumen tersebut ke Parlemen Inggris. Di dokumen yang sama, Parlemen Inggris mempublikasikan dokumen setebal 250 halaman berisi e-mail internal Facebook dan file lainnya, termasuk e-mail pribadi Mark Zuckerberg.
Dalam e-mail tersebut terungkap bahwa Facebook menawarkan pengiklan besarnya akses khusus untuk menggunakan data pengguna. Facebook mengatakan bahwa konteks pada e-mail tersebut kurang lengkap.
Zuckerberg menegaskan ke parlemen Inggris bahwa perusahaannya tidak pernah menjual data pengguna.
20. "Bug" bikin aplikasi bisa intip foto pengguna (Desember)
Di penghujung akhir tahun, lagi-lagi Facebook harus didera masalah privasi. Facebook mengatakan terdapat bug di API Facebook yang membuka peluang foto-foto penggunanya bisa diintip oleh 1.500 aplikasi pihak ketiga.
Foto yang bisa diakses pun tak hanya foto yang diunggah di lini masa saja, namun di Facebook Stories dan bahkan foto yang belum sempat diunggah sempurna karena proses unggahan dihentikan.
Peluang akses diberikan setelah pengguna menggunakan log in Facebook melalui aplikasi ketiga. Facebook menjelaskan dalam rilisnya bahwa bug tersebut telah bersembunyi sejak 13 September lalu dan baru ditemukan 25 September.
21. Tudingan Spotify dan Netflix bisa baca data pengguna (Desember)
Masih di bulan yang sama, pada pertengahan Desember lalu, sebuah laporan dari New York Times mengungkap adanya dugaan Facebook memberikan akses ke sejumlah aplikasi pihak ketiga ke data pribadi pengguna.
Facebook mencatat ada 150 perusahaan, termasuk Amazon, Microsoft, Netflix, dan Spotify. Spotify dan Netflix diduga sempat memiliki akses untuk membaca pesan langsung pengguna Facebook yang log in dengan akun Facebook.
Facebook tidak membantah bahwa para pihak ketiga mendapatkan akses ke pesan pengguna tapi tidak ada bukti bahwa data tersebut disalahgunakan para pihak ketiga. Sedangkan Spotify dan Netflix mengatakan tidak tahu bahwa mereka memiliki akses untuk membaca pesan pengguna.
Netflix menyebut bahwa fitur yang terintegrasi dengan Facebook sudah dihapus sejak tahun 2015. Netflix juga mengklaim tidak pernah mengakses pesan pribadi orang-orang di Facebook atau meminta akses untuk melakukannya.
Source | : | Wired |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR