Jejeran pagar hidup membatasi kanan-kiri jalan menuju pintu masuk. Tanah kering, tandus, dan berbatu membentang di seluruh kawasan. Saat itu memang sedang musim kemarau. Sudah lama hujan tidak turun. Kebun pisang yang biasanya ramai pun terlihat mengering. Kebun kunyit yang menjadi andalan harus direlakan mati. Namun, beberapa pohon mangga, jambu mete, dan kelapa masih tampak tumbuh subur mengelilingi kawasan.
Di tengah kawasan, wantilan atau balai besar yang menjadi pusat kegiatan warga tampak berdiri kokoh. Di hadapannya, ada dua wantilan kecil yang seolah-olah menjadi pelindung bagi wantilan besar. Di sebelah kiri wantilan besar, terdapat lahan berkebun yang ukurannya dua kali lapangan bulu tangkis. Di belakang wantilan besar terlihat beberapa bangunan seperti balai tenun, balai pembuatan Sakuntala, dapur umum, kamar mandi dan WC. Di sebelah kanan wantilan besar terdapat rumah warga yang dihuni oleh satu keluarga pemilik tanah.
Pemandangan di atas adalah gambaran sebuah area bernama Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala ini berada di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Cerita tentang Desa ini memang sudah mendunia. Banyak peneliti berkunjung ke sini. Bukan karena tanahnya yang subur atau kunyit khas Bengkala yang tenar, melainkan karena keunikan masyarakatnya yang berhasil menaikkan derajat warga bisu-tuli di sana.
Hari Minggu adalah hari saat sebagian besar warga kolok (sebutan untuk warga penyandang bisu-tuli dalam bahasa Bali) beraktivitas di KEM ini. Masyarakat yang normal juga ikut di sana. Mereka bercampur dalam keceriaan. Relasi yang terjalin sangat erat. Tidak ada pembedaan. Tidak ada diskriminasi. Tua maupun muda, kolok maupun normal. Semua bercampur mewujud subtil.
Kisah tentang warga kolok ini memang telah ada sejak tahun 1103 Masehi. Bahkan, pada tahun 70-an, penduduk Desa Bengkala yang kolok mencapai 100 jiwa lebih. Berkat program Keluarga Berencana, hingga saat ini warga kolok pun menyusut hingga 43 jiwa.
Selembar tajuk rawa yang menandai nama KEM Kolok Bengkala di wantilan besar adalah simbol harapan para perintis. Semangat untuk menghilangkan sekat antara si normal dan si kolok, bersosialisasi dan beraktivitas serta terbuka dengan masyarakat luar, dan mampu mandiri dan meningkatkan taraf ekonomi kehidupan mereka.
Demi Kemandirian
Inisiatif pembentukan KEM Kolok Bengkala memiliki cerita sendiri. Berawal dari niat untuk mengabdikan diri pada masyarakat, Forum Layanan Iptek Bagi Masyarakat (FlipMAS ) Wilayah Ngayah Bali—forum yang beranggotakan dosen dari berbagai universitas di Bali—mulai melakukan survei bersama tim dari Kemenristekdikti untuk keperluan Iptek Bagi Wilayah (IBW). Hasil survei ini menjadi cikal bakal FlipMAS Wilayah Ngayah Bali dan FlipMAS Indonesia menginisiasi pembentukan KEM Kolok Bengkala. Inisiatif ini lalu disampaikan ke PT. Pertamina Persero. Gayung bersambut, visitasi pun dilakukan.
Ketua Pelaksana KEM Kolok Bengkala, Putu Suwardika, mengisahkan, tujuan pendirian KEM Kolok Bengkala sangat sederhana. “Masyarakat Kolok Bengkala harus mandiri bagi dirinya dan keluarganya,” tutur Pak Putu, sapaan akrabnya.
Dimulai pada tahun 2014 dengan luas tanah utama dua hektare, warga kolok tidak serta-merta menerima inisiatif pendirian KEM Kolok Bengkala. Warga kolok adalah kelompok masyarakat yang telah lama tidak mendapat pendidikan. Persoalan sosial masyarakat seperti rendah diri, krisis kepercayaan pada warga normal karena kerap dibodoh-bodohi untuk menjual tanah leluhurnya, dan kebiasaan mabuk serta berjudi sempat menjadi kendala pembangunan KEM.
Hidup bersekat konflik pribadi antar warga kolok tanpa memikirkan satu sama lain pun sempat mereka alami. Pada akhir tahun 2016 barulah komunikasi warga kolok sudah mulai mencair. Kepercayaan diri sudah mulai tumbuh. Keterbukaan pun ditunjukkan dengan ikut bersama-sama membangun KEM Kolok Bengkala.
Hak yang Sama
Semua warga, termasuk warga kolok, berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Begitulah semangat yang dicita-citakan oleh Kepala Desa Bengkala, I Made Arpana. Semenjak KEM Kolok Bengkala berdiri, banyak sisi kehidupan masyarakat Kolok yang berubah.
Rasa percaya diri mulai tumbuh. Keterbukaan antar warga kolok, serta kolok dengan normal atau bahkan bersama pendatang dari luar desa pun mulai terlihat. Mereka tidak pernah merasa rendah diri lagi. Sensitivitas yang selalu melekat pada citra mereka pun perlahan memudar.
Kehidupan warga kolok di Desa Bengkala ini memang sangat sederhana. Mayoritas pekerjaan mereka adalah petani dan pekebun. Beberapa ada yang memelihara ternak bantuan dari KEM secara kolektif. Uniknya, hampir seluruh laki-laki kolok juga berprofesi sebagai penggali kubur.
Sejak SD Inklusi diberlakukan tahun 2007, anak-anak penyandang disabilitas kolok mulai mendapatkan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya belajar mengenal aksara perlahan tumbuh hingga memicu para orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Di SD Inklusi, anak-anak belajar bersaing satu sama lain.
Tidak ada perbedaan antara bisu-tuli dan normal, hanya cara pembelajarannya yang berbeda. Ada dua pengajar yang membantu di setiap mata pelajaran. Satu yang menerangkan dengan normal, satu lagi menerangkan dengan bahasa isyarat.
Ketut Kanta, satu dari dua pengajar di SD Inklusi, mengajar seluruh mata pelajaran untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Menurutnya, tidak ada kesulitan berarti untuk bisa
mengajar dalam kelas yang berisi anak-anak normal dan anak bisu-tuli. Cuma dibutuhkan kesabaran ekstra. Mereka bukan anak yang mudah menangkap pelajaran. Ketekunan dan kesabaran sang pengajarlah yang membuat mereka merasa diterima dan ingin terus belajar.
Desa Bengkala memiliki bahasa isyarat lokal tersendiri. Bahasa isyarat lokal tersebut bernama Kata Kolok. Bahasa ini menjadi bahasa ibu bagi mereka. Uniknya, 80 persen warga Bengkala mampu berbahasa isyarat ini, sehingga komunikasi yang terjalin antara kolok dan normal bisa dilakukan dengan sangat lancar.
Kepedulian masyarakat Bengkala dengan ikut mempelajari bahasa isyarat memberikan energi positif bagi warga kolok. Mereka menjadi percaya diri untuk melakukan berbagai aktivitas. Tahun 2018, ada 78 siswa yang bersekolah di SD Inklusi. Sebanyak 74 siswa-siswi normal, sementara empat siswa-siswi kolok diberikan GPK atau Guru Pendamping Khusus.
Di sini pula, anak-anak kolok belajar Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Isyarat Bahasa Internasional. Keahlian ini nantinya akan membuat mereka mampu berkomunikasi dengan tamu-tamu mancanegara yang datang berkunjung ke Desa Bengkala.
Sebelum tahun 2007, anak-anak kolok tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Sekalipun ingin bersekolah, mereka harus berjalan jauh menuju kota untuk ikut Sekolah Luar Biasa (SLB) di kota. Namun, di SLB mereka tidak akan memiliki kelebihan lain karena kurikulumnya menyamaratakan kemampuan semua anak. Pertarungan ilmu yang mereka jalani justru akan membuat mereka stres dan malas untuk belajar.
Oleh karenanya, PT. Pertamina, pemerintah desa, dan FlipMAS menginisiasi adanya pra-SMP Inklusi. Sekolah ini bersifat nonformal, yang menjadi jembatan persiapan bagi siapa pun yang telah memiliki sertifikat lulus Paket A atau punya ijazah SD agar mampu beradaptasi dengan pelajaran SMP Inklusi yang rencananya juga akan dibangun nanti. Setelah dinyatakan siap, siswa-siswi pra-SMP akan diikutkan ujian sebagai tolok ukur apakah mereka siap untuk melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Administrator |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR