Mengingat kepercayaan tetap menjadi faktor utama mengapa pembeli enggan berbelanja online, friksi pada tahap pencarian ini menjadi hal penting untuk diperhatikan. Faktor penting lainnya adalah optimalisasi teknologi dalam tahap pengisian data di awal pembelanjaan yang seringkali belum disesuaikan dengan format pada perangkat gawai.
Friksi juga terjadi pada fase pembelian setelah konsumen memilih barang atau jasa yang diinginkan. Pada tahap ini, konsumen sering dihadapkan pada langkah atau biaya tambahan yang tak terduga yang membuat mereka berpikir ulang untuk membeli barang atau jasa yang telah dipilih. Biaya tak terduga tersebut misalnya biaya tambahan pengiriman atau biaya antar yang tidak diperlihatkan sebelumnya.
Selain itu, friksi di tahap pembelian ini juga terjadi misalnya karena kurangnya integrasi perangkat atau kanal serta banyaknya tahapan yang harus dilalui untuk menyelesaikan pembayaran. Secara spesifik, konsumen di Indonesia menghadapi friksi dalam hal tidak adanya metode pembayaran yang sesuai dengan keinginan mereka. Saat ini, konsumen mengharapkan pembayaran yang mudah dengan sekali klik serta menghindari transaksi yang memakan waktu.
Setelah pembayaran selesai, konsumen mengharapkan adanya kejelasan mengenai pembelian mereka, seperti status barang yang dipesan, konfirmasi pembelian dan perjalanan pengiriman barang secara detail. Studi yang Facebook lakukan menunjukkan, friksi di fase ini akan menghambat konsumen menjadi loyal pada satu brand.
Mari kita ambil contoh industri perjalanan wisata dan friksi yang dihadapi oleh para konsumen dalam perjalanan pembelian produk, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan beralih ke brand atau kompetitor.
Studi Facebook menunjukkan, industri perjalanan wisata di Indonesia akan berpotensi kehilangan pendapatan sebesar US$9,1 miliar ketika mereka membiarkan friksi terjadi dalam pengalaman pembelian konsumen.
Dalam fase pencarian, 53% konsumen berhenti melakukan pencarian ketika mereka melihat iklan atau informasi yang tidak relevan dan 61% akan berhenti ketika mereka tidak menerima penawaran yang detail dari brand.
Setelah melalui fase ini, konsumen masih menemukan friksi ketika mereka sudah siap untuk membeli: 65% konsumen memutuskan untuk meninggalkan situs web dan beralih ke kompetitor ketika mereka menemukan harga yang berbeda dengan yang ada di iklan, sementara 53% berhenti ketika harus melalui tahapan yang banyak dan menyulitkan saat melakukan reservasi transportasi dan akomodasi.
Friksi terus berlanjut pada fase pasca-pembelian dan hal ini membuat konsumen menjadi tidak loyal terhadap satu brand. Studi Facebook juga menunjukkan bahwa 59% konsumen cenderung tidak membeli lagi dari brand yang sama karena kurangnya informasi terkini, dan 63% tidak akan mengunjungi brand itu lagi ketika mereka harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan dari layanan pelanggan (customer service).
Berkaca dari Shopee
Bagaimana bisnis dapat memberikan pengalaman yang lebih baik bagi konsumen? Tidak ada jalan pintas dalam meminimalisir friksi selain proses yang berkelanjutan dan terus-menerus. Hal tersebut melibatkan pemetaan yang detail tentang perjalanan belanja konsumen, mengidentifikasi sumber utama friksi, dan menjalankan strategi guna mengatasi friksi tersebut.
Mari kita lihat pengalaman yang ditawarkan platform e-commerce Shopee, yang hadir di tujuh area di Asia Tenggara dan Taiwan. Mereka menemukan bahwa salah satu friksi terbesar ketika berbelanja online adalah isu keamanan. Pelanggan ingin tahu, apakah produk ini asli? Apakah cara pembayarannya aman?
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR