Penulis: Adisti Latief (Marketing Science Lead, Facebook Indonesia)
Iklan bisnis secara online kerap hadir dengan embel-embel janji yang berlebihan. Sebutlah janji dan kata semacam “Beli Sekarang”, “Pesan Sekarang”, “Daftar Sekarang”, yang bermakna sekarang – saat ini juga – tapi justru menjadi sebuah awal pengalaman berbelanja yang panjang dan membosankan. Proses yang Panjang ini bukanlah “sekarang”, yang pada akhirnya membuat para pelanggan enggan menyelesaikan transaksi dan keluar dari platform.
Laporan State of User Experience tahun 2017 yang disampaikan oleh Limelight Networks menyebutkan, bahwa 55% pelanggan di Asia Pasifik hanya akan menunggu hingga lima detik sebelum meninggalkan situs web yang mensyaratkan proses terlalu panjang dan lama. Inilah friksi yang kerap dihadapi bisnis dalam platform digital.
Ketika Anda menyadari bahwa lebih dari separuh perusahaan e-commerce beroperasi di Asia Pasifik, apa kemudian konsekuensi yang terjadi apabila janji-janji yang Anda berikan kepada para pelanggan tidak terpenuhi?
Baru-baru ini, Facebook bekerjasama dengan Boston Consulting Group (BCG) untuk memahami lebih dalam bagaimana friksi dapat mempengaruhi performa bisnis dan apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Penelitian ini menunjukkan bahwa proses berlapis pada platform online akan berdampak pada hilangnya niat pembelian. Secara keseluruhan, friksi akan membuat bisnis kehilangan potensi pendapatan sebesar US$325 per tahun di Asia Pasifik. Adapun di Indonesia, hilangnya potensi pendapatan bagi bisnis adalah US$20 miliar.
Dipicu oleh pergeseran bisnis dan gaya hidup yang bertumpu pada perkembangan teknologi gawai, setiap industri – industri perjalanan wisata, retail, hingga e-commerce – rentan menghadapi friksi.
Tiga Tahapan Terjadinya Friksi
Facebook sendiri mengidentifikasi friksi terjadi pada tiga tahapan perjalanan pembelian, yakni tahap pencarian, tahap pembelian serta tahap pasca-pembelian.
Secara spesifik, penelitian ini untuk di Indonesia menunjukkan bahwa 94% konsumen menemukan friksi di setiap fase belanja online tersebut. Dari angka tersebut, 54% diantaranya memilih untuk tidak menyelesaikan transaksi ketika menghadapi friksi.
Penelitian ini melihat bahwa perjalanan belanja online bukan linear, namun sirkular. Hal ini dapat dijelaskan bahwa fase pasca-pembelian menjadi momen yang krusial karena akan menjadi penentu apakah konsumen akan tetap membeli barang dari brand yang sama atau mulai mencari brand yang baru.
Pada fase pencarian, konsumen ingin mendapatkan informasi yang ringkas dan jelas dari beberapa sumber. Friksi yang dihadapi konsumen pada tahap ini adalah sulitnya menemukan informasi dan deskripsi barang yang diinginkan, situs web yang lambat dan ketinggalan jaman, serta minimnya testimoni atau review suatu barang.
Mengingat kepercayaan tetap menjadi faktor utama mengapa pembeli enggan berbelanja online, friksi pada tahap pencarian ini menjadi hal penting untuk diperhatikan. Faktor penting lainnya adalah optimalisasi teknologi dalam tahap pengisian data di awal pembelanjaan yang seringkali belum disesuaikan dengan format pada perangkat gawai.
Friksi juga terjadi pada fase pembelian setelah konsumen memilih barang atau jasa yang diinginkan. Pada tahap ini, konsumen sering dihadapkan pada langkah atau biaya tambahan yang tak terduga yang membuat mereka berpikir ulang untuk membeli barang atau jasa yang telah dipilih. Biaya tak terduga tersebut misalnya biaya tambahan pengiriman atau biaya antar yang tidak diperlihatkan sebelumnya.
Selain itu, friksi di tahap pembelian ini juga terjadi misalnya karena kurangnya integrasi perangkat atau kanal serta banyaknya tahapan yang harus dilalui untuk menyelesaikan pembayaran. Secara spesifik, konsumen di Indonesia menghadapi friksi dalam hal tidak adanya metode pembayaran yang sesuai dengan keinginan mereka. Saat ini, konsumen mengharapkan pembayaran yang mudah dengan sekali klik serta menghindari transaksi yang memakan waktu.
Setelah pembayaran selesai, konsumen mengharapkan adanya kejelasan mengenai pembelian mereka, seperti status barang yang dipesan, konfirmasi pembelian dan perjalanan pengiriman barang secara detail. Studi yang Facebook lakukan menunjukkan, friksi di fase ini akan menghambat konsumen menjadi loyal pada satu brand.
Mari kita ambil contoh industri perjalanan wisata dan friksi yang dihadapi oleh para konsumen dalam perjalanan pembelian produk, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan beralih ke brand atau kompetitor.
Studi Facebook menunjukkan, industri perjalanan wisata di Indonesia akan berpotensi kehilangan pendapatan sebesar US$9,1 miliar ketika mereka membiarkan friksi terjadi dalam pengalaman pembelian konsumen.
Dalam fase pencarian, 53% konsumen berhenti melakukan pencarian ketika mereka melihat iklan atau informasi yang tidak relevan dan 61% akan berhenti ketika mereka tidak menerima penawaran yang detail dari brand.
Setelah melalui fase ini, konsumen masih menemukan friksi ketika mereka sudah siap untuk membeli: 65% konsumen memutuskan untuk meninggalkan situs web dan beralih ke kompetitor ketika mereka menemukan harga yang berbeda dengan yang ada di iklan, sementara 53% berhenti ketika harus melalui tahapan yang banyak dan menyulitkan saat melakukan reservasi transportasi dan akomodasi.
Friksi terus berlanjut pada fase pasca-pembelian dan hal ini membuat konsumen menjadi tidak loyal terhadap satu brand. Studi Facebook juga menunjukkan bahwa 59% konsumen cenderung tidak membeli lagi dari brand yang sama karena kurangnya informasi terkini, dan 63% tidak akan mengunjungi brand itu lagi ketika mereka harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan dari layanan pelanggan (customer service).
Berkaca dari Shopee
Bagaimana bisnis dapat memberikan pengalaman yang lebih baik bagi konsumen? Tidak ada jalan pintas dalam meminimalisir friksi selain proses yang berkelanjutan dan terus-menerus. Hal tersebut melibatkan pemetaan yang detail tentang perjalanan belanja konsumen, mengidentifikasi sumber utama friksi, dan menjalankan strategi guna mengatasi friksi tersebut.
Mari kita lihat pengalaman yang ditawarkan platform e-commerce Shopee, yang hadir di tujuh area di Asia Tenggara dan Taiwan. Mereka menemukan bahwa salah satu friksi terbesar ketika berbelanja online adalah isu keamanan. Pelanggan ingin tahu, apakah produk ini asli? Apakah cara pembayarannya aman?
Untuk mengatasi isu ini, Shopee memperkenalkan ‘Shopee Guarantee’, yakni proses penundaan pembayaran ke penjual, sampai pembeli melakukan konfirmasi bahwa mereka telah menerima barang dalam kondisi yang baik.
Platform ini juga menyediakan beberapa opsi pembayaran yang disesuaikan dengan masing-masing pasar. Di Indonesia, Vietnam dan Filipina, dimana penetrasi kartu kredit sangat rendah, mereka menawarkan pembayaran di tempat. Di negara seperti Taiwan, mereka menawarkan opsi untuk membayar lewat minimarket.
Lebih dari sekadar menghilangkan friksi, upaya yang dilakukan adalah untuk meningkatkan pengalaman berbelanja konsumen hingga mendapatkan kepercayaan positif dari mereka. Shopee melihat bahwa Singles Day (11.11) kini menjadi sangat populer di Tiongkok, Singapura, hingga Asia Tenggara juga Taiwan, sehingga Shopee mendedikasikan beberapa bulan untuk mengoptimalisasi platform belanja mereka dalam menyambut Shopee 11.11 Big Sale.
Sebagai seseorang yang terus mempelajari perilaku konsumen dan mengukur dampaknya kepada bisnis, saya sangat memahami perubahan perilaku konsumen yang menuntut perubahan besar dan transformasi bisnis.
Mengukur dan memberikan penilaian dalam perjalanan berbelanja konsumen harus menjadi fokus, bahkan bisnis saat ini harus mulai menyusun strategi mobile-first untuk mengurangi friksi yang dihadapi konsumen – hal penting untuk pasar yang dinamis seperti Indonesia.
Di masa depan, konsumen menginginkan interaksi yang mudah, cepat dan dapat diandalkan dengan brand dalam pengalaman berbelanja mereka. Kita juga harus dapat mengukur nilai tambah yang dapat diberikan bisnis, setelah friksi yang dialami konsumen dapat diselesaikan secara akurat. Masa depan adalah sekarang – saatnya Anda menciptakan masa depan bisnis tanpa friksi.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR