Ketiga, perusahaan perlu mempertimbangkan independensi penyedia cloud, meski berada dalam kontrak. Begitu juga dengan fasilitasnya, pastikan cloud dapat digunakan sesuai kebutuhan perusahaan. Begitu pun dengan biaya yang dibebankan.
“Jangan pernah tergiur dengan fixed contract, karena perusahaan jadi tidak bisa menyesuaikan kebutuhan,” Ujar Paul Soegianto, Chief Strategy Officer Bluebird Group Indonesia.
Baca Juga: Layanan 5G dan Smartphonenya Dilarang, Huawei Ajukan Banding di Swedia
Terakhir, perusahaan harus benar-benar mengerti akan konsep cloud economics, benefit, cloud provider, hingga memerhatikan laporan jika cloud sempat down.
Perusahaan juga perlu mempertimbangkan partner cloud yang sigap dan siap membimbing, terutama jika perusahaan belum berpengalaman dalam penggunaan cloud.
“Kita harus memerhatikan secara detail semua aspek yang ada pada cloud, mulai dari security detailsnya, berapa kali koneksinya down, sampai punya partner yang experienced, agar perusahaan punya arsitektur sistem yang benar,” ujar Gunawan Santoso, Country Manager AWS Indonesia.
Bagaimana dengan biayanya?
Meski cloud jadi solusi, tak bisa dipungkiri jika bermigrasi ke cloud akan memunculkan biaya tambahan. Salah satunya melalui biaya investasi di muka (Capex).
Baca Juga: Layanan 5G dan Smartphonenya Dilarang, Huawei Ajukan Banding di Swedia
Teguh mengatakan jika penambahan biaya tersebut tentu jadi sebuah konsekuensi. Namun, besarnya biaya Opex dapat disiasati melalui adaptasi cloud berbasis rental, sehingga dapat ditekan menjadi biaya operasional (Opex).
“Kalau melihat banyaknya akses broadband saat ini, maka pilihan perusahaan ada pada migrasi biaya capex menjadi opex,” ujar Teguh.
Senada, Paul menyebut jika biaya adopsi cloud bisa jadi lebih besar, terutama jika perusahaan tidak memahami kebutuhan dan dapurnya sendiri. Inilah pentingnya melakukan ‘pekerjaan rumah’ terlebih dulu, agar tidak menghambat transformasi, dan tentunya biaya.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR