Meski sempat bernafas lewat kenormalan baru, pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) di wilayah Jakarta, tak ayal membuat proses bisnis perusahaan kembali ke titik awal ketika pandemi.
Akhirnya, mau tidak mau – perusahaan harus kembali menerapkan transformasi digital lebih serius. Sebab, tak ada jaminan jika pandemi akan segera selesai.
Salah satunya melalui adaptasi cloud computing. Jika dahulu cloud digunakan sebagai media back-up data internal perusahaan, kini cloud justru digunakan untuk memfasilitasi seluruh kebutuhan.
Terutama bagi mereka yang sebelumnya bermain di wilayah bisnis daring, kebutuhan cloud yang mumpuni justru jadi urgensi.
Baca Juga: Jangan Buka Kemah, Sony Hanya Jual Perdana Playstation 5 Online
Meski begitu, kurangnya pengalaman dalam menggunakan cloud bagi beberapa perusahaan, menjadi dilema tersendiri. Salah-salah, layanan yang digunakan ternyata tidak sesuai atau malah menimbulkan kebocoran data.
Melalui webinar Indosat Ooredoo Business bertajuk ‘Connex: Powering Your Business For The New Way Of Working Era’ pada Kamis (16/9/2020). Para pembicara membocorkan beberapa tips dan trik yang dapat dilakukan perusahaan.
Pertama, perusahaan perlu mempersiapkan tiga hal, yaitu proses bisnis, teknologi, dan sumber daya manusia. Ketiganya merupakan hal dasar yang perlu dipenuhi. Terutama bagi para pemegang keputusan, semua harus mengerti TI.
“Bukan cuma orang IT, tapi keseluruhan ekosistem di sebuah perusahaan. Alhamdulilah, COVID-19 ini bikin semua orang harus melek IT. Sekarang, mulai satpam sampai decision maker harus tahu IT,” ujar Teguh Prasetya, Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia.
Baca Juga: Perang Harga Operator Diprediksi Makin Sengit hingga Tahun Depan
Kedua, perusahaan harus mengukur fleksibilitas Information and Communication Technologies (ICT). Hal ini termasuk seberapa tinggi kebutuhan keamanan perusahaan agar data tidak terbongkar oleh pihak ketiga.
“Perusahaan ingin seberapa aman datanya yang ingin disimpan, agar tidak terbongkar oleh hacker atau disusupi perusahaan lain,” lanjut Teguh.
Ketiga, perusahaan perlu mempertimbangkan independensi penyedia cloud, meski berada dalam kontrak. Begitu juga dengan fasilitasnya, pastikan cloud dapat digunakan sesuai kebutuhan perusahaan. Begitu pun dengan biaya yang dibebankan.
“Jangan pernah tergiur dengan fixed contract, karena perusahaan jadi tidak bisa menyesuaikan kebutuhan,” Ujar Paul Soegianto, Chief Strategy Officer Bluebird Group Indonesia.
Baca Juga: Layanan 5G dan Smartphonenya Dilarang, Huawei Ajukan Banding di Swedia
Terakhir, perusahaan harus benar-benar mengerti akan konsep cloud economics, benefit, cloud provider, hingga memerhatikan laporan jika cloud sempat down.
Perusahaan juga perlu mempertimbangkan partner cloud yang sigap dan siap membimbing, terutama jika perusahaan belum berpengalaman dalam penggunaan cloud.
“Kita harus memerhatikan secara detail semua aspek yang ada pada cloud, mulai dari security detailsnya, berapa kali koneksinya down, sampai punya partner yang experienced, agar perusahaan punya arsitektur sistem yang benar,” ujar Gunawan Santoso, Country Manager AWS Indonesia.
Bagaimana dengan biayanya?
Meski cloud jadi solusi, tak bisa dipungkiri jika bermigrasi ke cloud akan memunculkan biaya tambahan. Salah satunya melalui biaya investasi di muka (Capex).
Baca Juga: Layanan 5G dan Smartphonenya Dilarang, Huawei Ajukan Banding di Swedia
Teguh mengatakan jika penambahan biaya tersebut tentu jadi sebuah konsekuensi. Namun, besarnya biaya Opex dapat disiasati melalui adaptasi cloud berbasis rental, sehingga dapat ditekan menjadi biaya operasional (Opex).
“Kalau melihat banyaknya akses broadband saat ini, maka pilihan perusahaan ada pada migrasi biaya capex menjadi opex,” ujar Teguh.
Senada, Paul menyebut jika biaya adopsi cloud bisa jadi lebih besar, terutama jika perusahaan tidak memahami kebutuhan dan dapurnya sendiri. Inilah pentingnya melakukan ‘pekerjaan rumah’ terlebih dulu, agar tidak menghambat transformasi, dan tentunya biaya.
“Yang banyak orang enggak hitung adalah total cost sebenarnya,” ujar Paul. Oleh sebab itu, ia menyarankan perusahaan agar memilih penyedia cloud terpercaya, sehingga tak terjadi biaya tambahan yang tidak diinginkan.
Baca Juga: HMD Global Bakal Produksi Kembali Ponsel Nokia 6300 dan 8000
“Jangan pilih perusahaan cloud abal-abal. Pilih juga perusahaan dengan reputasi kredibel, jadi bisa dikunci dengan SLA” tutup Paul.
Webinar ini sekaligus menjadi ajang bagi Indosat Ooredoo Business dalam mengenalkan layanan CloudConnect, sebuah layanan konektivitas ke public cloud dengan konsep Network-as-a-Service (NaaS) berbasis software.
Melalui CloudConnect, perusahaan tak hanya mampu meningkatkan performa bisnis perusahaan, tetapi juga mendapatkan akses cepat dan aman untuk terhubung ke public cloud seperti Google, AWS, Azure, dan Alibaba.
“Kami memberi solusi yang menghubungkan end user dengan public cloud, seperti AWS, Azure, dan Google melalui jaringan internet. Solusi ini juga bisa membantu pelanggan membuat virtual network dalam waktu yang singkat,” ujar Bayu Hanantasena, Chief Business Officer Indosat Ooredoo.
Baca Juga: Rentan Diserang Hacker, Ada Celah Keamanan Berbahaya di OS Windows 10
Untuk masalah keamanan, CloudConnect turut mengadopsi Zero Trust Network Security, dengan lima lapis proteksi keamanan untuk network invisible dan mengamankan akses jarak jauh.
Cloud Connect sebagai solusi bagi pelanggan korporat untuk menjalankan bisnis secara cepat dan efisien. Mengedepankan tiga keunggulan utama, yaitu peningkatan performa, fleksibilitas, serta standar keamanan tinggi (zero trust network security),
CloudConnect bisa digunakan di perangkat smartphone dan perangkat IoT lainnya. CloudConnect bisa menjadi pilihan yang tepat bagi perusahaan yang ingin berkembang secara cepat tanpa khawatir akan biaya tambahan.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai CloudConnect dapat dilihat melalui laman https://indosatooredoo.com/cloudconnect.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR