Kembangkan Algoritme Baru
Berbeda dengan Zoom yang lebih kepada penanganan lalu lintas yang bertambah drastis dan perubahan pengguna Zoom, pandemi COVID-19 membuat Ava berinovasi dalam pendeteksian dini gejala COVID-19 pada penggunanya. Ava mendeskripsikan dirinya sebagai perusahaan kesehatan wanita digital. Ava yang bertujuan untuk memajukan kesehatan para wanita. Dalam mencapai tujuannya itu, Ava antara lain menggunakan ML (machine learning) dan gelang khusus seperti smart band. Dengan data yang dikumpulkan melalui gelang yang disebut Ava bracelet, Ava kemudian menganalisis data tersebut memanfaatkan bantuan ML untuk mendapatkan insight seperti kapan masa subur yang tinggi. Insight ini tentunya bersifat individual sesuai dengan pengguna Ava yang memakai gelang bersangkutan. Ava menggunakan AWS antara lain untuk menyimpan data yang dikumpulkan — Ava mengklaim setiap malam mengumpulkan lebih dari tiga juta data untuk setiap penggunanya — dan untuk komputasi.
Dalam menjalankan tugasnya, Ava bracelet dilengkapi oleh beberapa sensor. Setidaknya sebagian dari sensor-sensor tersebut, seperti yang mengukur suhu kulit, detak jantung, dan laju pernafasan, juga bisa digunakan sehubungan pendeteksian gejala yang dialami seseorang bila mengidap COVID-19. Ditambah dengan catatan kesehatan yang terpersonalisasi untuk setiap penggunanya, data-data itu bisa digunakan Ava untuk membantu mendeteksi dini COVID-19 pada penggunanya. Ava pun mengembangkan algoritme baru untuk keperluan bersangkutan. Saat ini, Ava dan mitranya sedang bersiap untuk melakukan uji klinis. Apabila pendekatan dalam membantu pendetesian dini COVID-19 yang dimaksud berhasil, ke depannya, pendekatan serupa juga bisa dilakukan untuk penyakit-penyakit lain.
Mudahkan Chaos Engineering
Meningkatnya pemanfaatan aplikasi yang telah berlangsung sejak beberapa lama plus akselerasi oleh pandemi COVID-19, seperti halnya yang dari Zoom dan Eva, membuat keandalan aplikasi makin penting untuk organisasi. Agar aplikasinya andal, suatu organisasi tentu perlu untuk memastikan aplikasi tersebut resilience. AWS terus berinovasi dalam membantu organisasi untuk memastikan aplikasinya — sistem di belakang aplikasinya — resilience. AWS sedang mengembangkan layanan yang disebut AWS Fault Injection Simulator. Layanan baru ini ditargetkan akan tersedia pada 2021 yang akan datang. AWS mengklaim AWS Fault Injection Simulator memudahkan pengembang dalam melakukan chaos engineering pada berbagai layanan AWS secara terkontrol. Tujuannya tentu saja untuk lebih mudah menemukan bagian yang rentan pada suatu aplikasi sehingga bisa meningkatkan resilience.
Dengan AWS Fault Injection Simulator, pengembang — dan tentunya organisasi — bisa memasukkan kesalahan atau gangguan seperti latensi server dan kesalahan basis data. Pengembang pun bisa melakukannya secara aman. Terdapat template yang bisa digunakan oleh pengembang untuk menghasilkan kesalahan yang ingin dimasukkan. Begitu pula dengan kendali seperti secara otomatis menghentikan percobaan apabila kondisi tertentu tercapai. AWS meyakini AWS Fault Injection Simulator menghilangkan hambatan bagi pengembang dalam mengadopsi chaos engineering. AWS pun percaya chaos engineering tidak hanya untuk resilience melainkan juga bisa untuk meningkatkan kinerja, termasuk pengalaman pengembang dalam menghadapi gangguan yang jarang terjadi tetapi merupakan gangguan yang kritis.
"Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk beroleh resolusi [terhadap kesalahan atau gangguan] adalah tidak hanya mengenai arsitektur Anda dan automasi, tetapi juga adalah mengenai otot operasional yang Anda bangun dan latih seiring waktu. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menguji sistem Anda selain chaos engineering, dan dengan FIS — Fault Injection Simulator, Anda tidak perlu menjadi seorang ahli untuk memasukkannya ke dalam organisasi Anda," pungkas Dr. Werner Vogels.
KOMENTAR