Sekitar empat tahun lalu, World Economic Forum (WEF) melalui sebuah laporan hasil risetnya memprediksi bahwa lebih dari 50 persen pekerjaan manusia akan bersinggungan dengan teknologi automasi pada 2025. Prediksi tersebut kini mulai terwujud.
Meski pemanfaatan teknologi telah dilakukan oleh banyak perusahaan selama dua dekade terakhir, pandemi Covid-19 dapat dikatakan menjadi batu loncatan perusahaan untuk mempercepat penerapan teknologi.
Seperti diketahui, untuk mengatasi keterbatasan aktivitas selama pandemi Covid-19, hampir seluruh masyarakat beralih dan memanfaatkan teknologi digital. Masyarakat mengandalkan smartphone dan internet untuk melakukan berbagai aktivitas, mulai dari berbelanja, membayar tagihan, sampai meeting dengan klien.
Fenomena tersebut mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan transformasi digital agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Baca Juga: Nih! Keuntungan Perusahaan Terapkan Gaya Kerja Hybrid dan Fleksibel
Dilansir dari laman Popular Mechanics, para ahli di bidang informasi dan teknologi (IT) memprediksi bahwa internet akan terus berevolusi hingga 50 tahun ke depan. Hampir seluruh kegiatan manusia akan semakin bergantung pada internet.
Para ahli juga mengungkapkan, perusahaan yang tidak melakukan transformasi digital dengan segera akan tertinggal, bahkan terancam tumbang, karena tak mampu bersaing dengan kompetitor.
Digitalisasi untuk tingkatkan efisiensi
Transformasi digital di lingkup perusahaan tidak hanya soal beradaptasi dengan tren atau kebutuhan masyarakat. Dengan memanfaatkan teknologi digital, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi berbagai kegiatan operasional dan sistem manajemen yang lebih andal.
Menurut laporan McKinsey, transformasi digital telah mengubah laju bisnis perusahaan secara signifikan. Berkat teknologi digital, perusahaan dapat mengumpulkan big data dari berbagai sumber untuk menganalisis kebutuhan konsumen.
Baca Juga: Kominfo Normalisasi Empat PSE Diblokir, Bagaimana Nasib PayPal?
Selain itu, teknologi digital memungkinkan perusahaan untuk menyusun strategi bisnis yang relevan berdasarkan data-data terkini, membantu distribusi tenaga kerja yang lebih efektif, dan menciptakan interaksi yang lebih dekat dengan konsumen melalui platform digital.
Dari sisi produktivitas perusahaan, ekosistem digital juga memungkinkan karyawan untuk bekerja secara offline dan online atau hybrid.
Menurut studi yang dimuat di laman Harvard Business Review, tren bekerja dari mana saja atau work from anywhere (WFA) juga diprediksi akan terus berkembang selama beberapa tahun ke depan.
Studi tersebut juga menyatakan, banyak karyawan menilai bahwa fleksibilitas bekerja dengan skema WFA telah meningkatkan produktivitas mereka selama didukung oleh jaringan internet yang memadai.
Baca Juga: YUNA, Chatbot yang Bisa Bantu Mempermudah Gamers Transaksi di UniPin
Tantangan SDM dan infrastruktur teknologi
Sebagaimana proses perubahan pada umumnya, transformasi digital juga tidak lepas dari berbagai tantangan dan kompleksitas. Laporan McKinsey mencatat, sebanyak 70 persen perusahaan di dunia gagal dalam bertransformasi menjadi perusahaan digital.
Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah kurangnya kesiapan saat memutuskan untuk bertransformasi menjadi perusahaan digital, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur pendukung.
Terkait SDM, masih banyak perusahaan yang membebankan pekerjaan yang berkaitan dengan transformasi digital ke departemen IT saja. Akibatnya, proses digitalisasi berjalan tidak efektif atau gagal karena tidak seluruh departemen memiliki pemahaman yang sama tentang hal tersebut.
Oleh sebab itu, perusahaan sebaiknya melibatkan karyawan dari departemen lain, seperti keuangan, pemasaran, human resources (HR), serta produksi dan quality assurance (QA).
Baca Juga: Qualtrics: Karyawan Indonesia Lebih Suka Fleksibilitas dalam Bekerja
Melansir laman Forbes, sejumlah ahli IT menyarankan agar perusahaan melaraskan antara tujuan perusahaan dengan tujuan transformasi digital terlebih dahulu. Dengan begitu, perusahaan dapat menentukan alur kerja yang lebih jelas, serta mengukur potensi dan risiko yang mungkin terjadi.
Sejalan dengan itu, perusahaan juga perlu mempertimbangkan infrastruktur digital yang memadai. Tidak hanya infrastruktur teknologi untuk pengelolaan data dalam jumlah besar atau big data, tetapi juga untuk menghadapi ancaman kejahatan siber (cybercrime).
Ancaman kejahatan siber tidak bisa dianggap sepele, sebab ada potensi kerugian besar yang akan dialami perusahaan. Terlebih, serangan siber yang terjadi di Indonesia cukup masif.
Sebagai informasi, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan, ada lebih dari 700 juta serangan siber di Indonesia per April 2022. Salah satu bentuk serangan yang paling banyak adalah ransomware.
Baca Juga: Kian Marak, Biaya Tebusan Ransomware Diprediksi Melonjak hingga 265 Miliar Dolar AS
Berbeda dengan malware biasa, ransomware hanya dapat ditangani oleh pembuatnya atau disebut threat actor. Selain “meyandera” data-data penting perusahaan, para threat actor juga biasanya mengancam akan menjual data tersebut di situs ilegal agar perusahaan mau membayar uang tebusan.
Oleh sebab itu, sistem keamanan data (data protection) yang mumpuni menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar bagi perusahaan yang ingin melakukan transformasi digital.
Sebagai tindak pencegahan, perusahaan dapat mempertimbangkan solusi proteksi data dari Pure Storage, SafeMode™ Snapshots.
Sebagai informasi, SafeMode™ Snapshots memiliki konsep kerja seperti data bunker. Ketika ransomware masuk ke perangkat penyimpanan, FlashArray pada SafeMode akan melakukan pengamanan data ke dalam area penyimpanan khusus selama 24 jam.
Baca Juga: Ancaman Ransomware Kian Mengganas, Perusahaan Dapat Cegah dengan Cara Ini
SafeMode™ Snapshots mampu mengarantina data tanpa merusak file yang ada. Jika ransomware melakukan enkripsi data secara permanen atau menghapus seluruh file penting yang ada di perangkat penyimpanan, Anda dapat menekan tombol undo untuk mengembalikannya.
Selain itu, SafeMode™ Snapshots juga memiliki sistem pertahanan khusus berupa PIN enam digit dan validasi user dengan menggunakan metode two-factor authentication. Dengan sistem pertahanan itu, threat actor tidak dapat menghapus volume atau data FlashArray, serta mengalami kesulitan saat proses pemindaian.
Untuk pemulihan data dari malware secara maksimal menggunakan SafeMode™ Snapshots, Anda dapat memilih durasi waktu pembersihan selama 14 sampai 30 hari.
Untuk perpanjangan waktu penyimpanan, SafeMode™ Snapshots dapat mentransfer data atau file ke perangkat yang terintegrasi, seperti FlashArray//C, FlashBlade®, AWS, Microsoft Azure, dan NFS shares.
Bagi perusahaan yang membutuhkan sistem proteksi data yang tanggap, SafeMode™ Snapshots dapat menjadi solusi untuk menangani serangan ransomware dan mengembalikan data dengan cepat dalam hitungan detik.
Untuk mengetahui informasi lebih lengkap tentang SafeMode™ Snapshots dan solusi lainnya, Anda dapat mengirimkan e-mail ke alamat purestorage.id@comstor.com atau mengunjungi laman Pure Storage di sini.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Wandha Nur Hidayat |
KOMENTAR