Meskipun penggunaan cloud dijanjikan sebagai cara untuk menghemat biaya, data dari Statista menunjukkan bahwa 82% responden dari kalangan eksekutif teknologi, manajer, dan praktisi teknologi cloud global menganggap pengeluaran cloud sebagai tantangan signifikan di tahun 2023 ini.
“Cloud tidak serta merta menghasilkan penghematan biaya,” Deputy CIO, Head of IT Architect & Engineering Bank Commonwealth Indonesia, Ronny Tan meluruskan. Ia memastikan, jika perusahaan menggunakan cloud dengan pola pikir infrastruktur tradisional, cloud tidak akan menghemat biaya.
“Misalnya kita beli satu server bare metal dengan spek A. Kemudian kita bandingkan, kalau dengan spesifikasi yang sama di cloud itu harganya berapa. Kalau hanya membandingkan seperti itu, dapat dipastikan cloud akan jadi lebih mahal,” jelas Ronny.
Dua tahun mengawal penggunaan cloud di Bank Commonwealth Indonesia, Ronny berpendapat, cara perusahaan memahami, mengelola, menata-kelola (governance), dan mengoperasikan cloud akan menentukan apakah pemanfaatan komputasi awan akan membuahkan penghematan atau tidak.
Jangan Gunakan Komputasi Awan Karena Tekanan
Berkaca dari pengalamannya, profesional yang telah berkarir selama 24 tahun di bidang teknologi informasi ini membagikan sejumlah hal yangn bisa menjadi panduan bagi perusahaan yang akan mengadopsi cloud secara efektif biaya.
“Yang pertama adalah kita harus memahami karakteristik cloud itu sendiri. Kita perlu memahami barang atau teknologi yang akan kita pakai, harus fit for purpose. Itu yang nomor satu,” ujar Ronny seraya menganalogikan hal ini dengan proses membeli kendaraan yang sesuai kebutuhan.
Setelah itu, Ronny Tan menganjurkan calon pengguna cloud untuk memahami cloud economics di balik layanan-layanan cloud dan cara kerjanya karena ini yang akan membedakan dengan infrastruktur tradisional atau on-premises.
Sebagai pengguna, perusahaan perlu memahami skema-skema yang ditawarkan, seperti pay as you go, reserve instant, saving plan, dan sebagainya. “Jangan terlalu terjebak dengan diskon yang besar, tetapi kemudian kita di locked-in, dan setelah itu kita kelimpungan. Jadi kita harus mengerti sekali karakteristik cloud economics dari tiap cloud provider itu,” Ronny menekankan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menggunakan cloud karena memang ada kebutuhan dan use case yang cocok untuk cloud. “Kita menggunakan cloud tidak boleh karena terpaksa. Itulah mengapa cloud bukan keharusan bagi Bank Commonwealth,” ujarnya.
Menurut pria yang mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, Bank Commonwealth Indonesia juga belum sepenuhnya berpindah ke cloud. “Sampai saat ini lebih kurang, 60-70 persen masih di on-premises. Tapi roadmap kami ke depannya memang akan menuju ke cloud,” jelasnya.
Hindari Mitos
Khususnya pelaku di industri jasa keuangan (FSI), Ronny Tan punya pesan khusus, “Hindari mitos-mitos seputar cloud.” Ada beberapa hal terkait cloud computing yang menurut Ronny sebenarnya adalah hanya mitos. Salah satunya, kata Ronny, adalah penghematan biaya yang seketika tadi.
Mitos lain adalah bahwa cloud sama dengan TI. “Misalnya di perbankan, yang diatur oleh OJK dan Bank Indonesia, dan sekarang juga sudah ada dari Kemenkominfo, BSSN, dan sebagainya, cloud itu sudah beyond IT,” jelas Ronny.
Untuk itu, tim TI justru harus terus menerus berinteraksi dengan banyak pihak, seperti tim compliance, legal, risk, keuangan, dan sebagainya, agar penggunaan cloud bisa optimal dan tepat guna dengan tetap mematuhi aturan-aturan yang ada.
Ronny juga menyoroti adanya pandangan bahwa cloud tidak aman dalam kaitannya dengan cyber security. “Sebenarnya ini juga salah, dalam arti aman atau tidak amannya, cybersecurity itu tidak hubungannya dengan cloud ataupun on-premise. Tetapi bagaimana perusahaan mengamankan perimeter security-nya. Jadi, apakah on-premise atau cloud bisa jadi aman, bisa jadi tidak aman, tergantung pada bagaimana kita mengamankannya,” tandas Ronny.
Meminimalkan “Kejutan” Saat Migrasi ke Awan
Lain lagi persoalannya ketika perusahaan melakukan migrasi ke cloud. Menurut pria yang sempat merentang karier di manca negara ini, tak jarang ada “kejutan-kejutan” yang muncul dan harus dihadapi tim TI saat melakukan migrasi.
Ia mencontohkan salah satu potensi kejutan itu adalah biaya professional services untuk memindahkan aplikasi yang sudah ada (existing) ternyata jatuhnya lebih mahal daripada biaya cloud itu sendiri.
“Itu juga yang kadang-kadang kita suka lupa dalam kita menghitung sebuah business case. Jadi kita menghitung hanya dari kacamata infrastruktur cloud. Padahal, kita juga harus melihat dari aplikasi existing, apakah ada professional services yang perlu di-procure, yang kita perlu beli, karena ini adalah migrasi, berbeda dengan new implementation,” jelas Ronny..
“Nah, dari pengalaman kami, kunci utamanya (dalam migrasi cloud) sebenarnya adalah memiliki dokumentasi yang cukup mengenai aplikasi yang sudah ada tadi, melakukan impact analysis yang mendalam, dan testing yang ekstensif,” ujarnya.
Langkah-langkah itu memang tidak serta merta menghilangkan kejutan-kejutan. “Surprise-nya akan tetap ada, tapi dengan impact analysis yang bagus, persiapan yang bagus, kejutan-kejutan ini akan bisa kita kelola, kita minimalkan,” jelas pria yang baru-baru ini terpilih sebagai salah satu dari 50 Tech Leaders to Watch (Honoring Powerful Leaders Driving Technology Forward) dari Exito.
Teknologi Sebagai Sumber Inovasi
Ronny Tan bergabung dengan Bank Commonwealth Indonesia sejak tahun 2021. Sebagai Deputy CIO dan Head of IT Architect & Engineering, Ronny bertanggung jawab untuk mengimplementasikan strategi TI dalam operasional perusahaan.
Sebelum bergabung dengan Bank Commonwealth Indonesia, penyuka olah raga renang dan sepeda ini memiliki pengalaman di industri jasa keuangan dan teknologi informasi, antara lain di Bank Bali, Citbank N.A, PT Bank ANZ Indonesia, American International Group (AIG), dan PT Asuransi Jiwa Astra.
Ia meraih gelar Sarjana Sains dari Program Studi Fisika di Institut Teknologi Bandung dan gelar Master of Management dari International Executive Master di Universitas Pelita Harapan (UPH).
Berbicara mengenai tantangan pemimpin TI saat ini, Ronny Tan melihat selain kompleksitas teknologi dan regulasi, para CIO saat ini juga dihadapkan pada tekanan biaya. “Jadi kalau kita lihat di beberapa tahun terakhir ini, perusahaan global, entah itu di bidang finansial atau teknologi, mau dia untung atau rugi, tetap saja ada aspek biaya. Apa contohnya? Lihat saja perusahaan seperti Meta dan Google, mereka melakukan cost cutting dengan PHK, padahal keuntungan mereka masih miliaran dolar,” jelasnya.
Untuk itu, menurutnya, selain teknologi dan regulasi, CIO perlu memperhatikan dan menguasai aspek biaya dan manajemen biaya (expense management).
Tantangan yang tak kalah beratnya adalah kelangkaan talenta digital yang sedang melanda Indonesia. “Kompetisinya luar biasa sehingga people strategy untuk TI itu penting sekali,” Ronny mengingatkan.
Pasalnya divisi TI saat ini dituntut untuk menghadirkan produk dan layanan dengan semakin cepat, risiko operasional yang kecil, dengan biaya rendah dan aman. “Jadi tantangan buat para CIO saat ini memang luar biasa,” imbuhnya.
Namun di sisi lain, ketika para CIO berhasil melewati dan mengatasi tantangan itu, hal tersebut akan memberikan nilai tambah yang membedakannya dengan peran-peran eksekutif lainnya di jajaran C-level.
Dengan tempaan yang demikian, tak heran jika Ronny Tan memiliki harapan bahwa akan semakin banyak pemimpin TI yang dapat memegang pucuk kepemimpinan perusahaan, sebagai atau CEO.
“Teknologi itu memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat, terhadap kegiatan operasional. Tinggal bagaimana para pemimpin teknologi ini bisa berpikir beyond technology, membawa nilai yang maksimal dari teknologi kepada para stakeholder, bagaimana teknologi bisa keluar dari istilah cost center tapi bisa heavily attached dengan revenue center. Di situlah kuncinya, bagaimana teknologi bisa menjadi sumber inovasi,” pungkas Ronny Tan.
Baca juga: AMD Hadirkan Kemampuan AI dan Komputasi Baru bagi Pelanggan Microsoft
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR