Sebelum AI generatif, belum pernah ada teknologi yang mampu mengotomatisasi percakapan business-to-customer secara cerdas.
AI generatif merevolusi lanskap komunikasi bisnis dengan memungkinkan percakapan otonom bisnis dengan masing-masing pelanggan.
Dalam konteks B2C, berarti teknologi AI generatif membuat bisnis dapat merespons pertanyaan pelanggan secara cepat dengan balasan yang sangat personal, bahkan memprediksi kebutuhan pelanggan secara presisi, tanpa tenaga kerja atau keterlibatan manusia.
Baca Juga: Google Luncurkan Gemini Ultra, Model Bahasa AI Tercanggih Saat Ini
Meskipun demikian, kekuatan AI generatif juga menimbulkan masalah etika yang muncul, seperti permasalahan seputar keamanan, kepercayaan, dan kepemilikan.
Regulasi dan pengawasan yang cermat terhadap AI generatif menjadi topik diskusi penting di Forum Ekonomi Dunia tahun ini.
Para pemimpin memperdebatkan apakah prompt harus dilindungi hak ciptanya, serta bagaimana cara membedakan antara konten buatan manusia dan buatan mesin, terutama dengan prediksi yang menyatakan mayoritas konten online akan dihasilkan oleh AI pada 2025.
Keseimbangan yang cermat antara inovasi dan regulasi AI generatif menjadi topik bahasan hangat, bahkan setelah WEF berakhir.
Penekanan pada penggunaan AI yang etis mengharuskan bisnis untuk lebih memperhatikan praktik penerapan AI dalam komunikasi pelanggan.
Hal ini mencakup memastikan privasi dan keamanan data, serta menghindari bias algoritma dan kesalahan informasi dalam komunikasi chatbot AI.
Namun sebelum melangkah ke regulasi pemerintah yang ketat, industri harus mulai melindungi pelanggannya dengan mengembangkan pedoman pembatasan konten, pemanfaatan teknologi moderasi, dan otentikasi pihak-pihak yang berkomunikasi.
Di seluruh lanskap teknologi komunikasi, sudah banyak pemain industri yang memanfaatkan moderasi konten.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR