Durasi pun tidak kalah penting untuk diperhatikan. Walaupun lima hari terkesan dibuat pas dengan durasi hari kerja selama satu pekan, alasan di balik itu sebenarnya cukup kuat. Bila waktunya kurang dari lima hari, risikonya waktu yang dimiliki tidak cukup untuk membuat dan menguji sebuah prototipe. Sebaliknya bila lebih dari lima hari, risikonya fokus berkurang sehingga ruang lingkup Sprint turut melebar. Walaupun begitu, penekanannya bukan pada “5 hari”, tapi pada jumlah hari yang cukup untuk melakukan Sprint secara komprehensif. Contohnya bila Sprint harus dijalankan secara virtual, durasi yang dibutuhkan mungkin lebih dari 5 hari. Hal itu dapat dimaklumi selama setiap tahap dalam Sprint dapat dilakukan dengan baik.
Pada intinya, penerapan Design Sprint tidak mungkin lepas dari risiko kegagalan. Akan tetapi, gagalnya Sprint bukan berarti tanpa hasil sama sekali. Bila setiap keluaran, yaitu pernyataan masalah, pilihan solusi, sketsa dari solusi, prototipe dari sketsa, hingga hasil pengujian prototipe tetap terwujud, hasil Sprint tetap bermanfaat untuk dijadikan kompas pengembangan produk yang sebenarnya. Kuncinya ada pada penentuan “tantangan”, kolaborasi yang maksimal, dan komitmen untuk menjalankan Sprint secara utuh.
Baca juga: Metode Design Sprint Menuju Visi Produk Solid dalam Lima Hari
Referensi
[1] | GV, “The Design Sprint,” [Online]. Available: https://www.gv.com/sprint/. [Diakses 28 Mei 2020]. |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR