Penulis: Amir Syafrudin
Email: amir.syafrudin@gmail.com
Masih tentang Design Sprint dalam menyusun visi produk yang solid, kali ini penulis mengulas lebih dalam terutama tentang ruang lingkup, pentingnya kolaborasi, dan durasi yang disarankan.
Design Sprint bertujuan untuk menyusun visi produk yang solid, yaitu visi produk yang cukup spesifik, tapi tidak terlalu kaku dalam menggambarkan produk yang akan dibuat. Proses pembuatan prototipe dan pengujiannya dalam Sprint dilakukan untuk mewujudkan visi produk seperti itu, yaitu visi produk yang tidak terbatas pada sekumpulan ide, sketsa, dan deskripsi dalam tumpukan dokumen. Walaupun begitu, tetap ada risiko bahwa Sprint yang selesai dijalankan masih menyisakan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab atau beberapa ide yang perlu diperdalam.
Baca juga: Tips Membangun Visi Produk yang Solid, Hasilkan Produk Bernilai Tambah
Hal pertama yang perlu ditekankan adalah tidak maksimalnya hasil Sprint itu normal. Hasil Sprint yang optimal itu dipengaruhi banyak faktor di luar proses Sprint itu sendiri, seperti masalah dan solusi yang dipilih, sketsa dan prototipe yang dibuat, atau pengujian yang dilakukan. Setiap faktor memiliki risiko tersendiri. Contohnya solusi yang dipilih ternyata bukan solusi yang optimal sehingga menyebabkan sketsa dan prototipe yang dibuat pun tidak mencerminkan produk yang dibutuhkan. Kalaupun semua itu sudah optimal, masih ada risiko dalam pengujian prototipe seperti skenario pengujian yang kurang tepat atau perwakilan target pengguna yang tidak representatif sehingga feedback yang diperoleh pun tidak sesuai harapan.
Perhatian yang besar perlu diberikan pada penentuan “tantangan” yang akan diatasi melalui Sprint. Lebih spesifik lagi, perhatian tersebut perlu ditujukan pada ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam Sprint. Berhubung konteksnya adalah pengembangan sebuah produk, maka hal yang harus diperhatikan adalah bagian produk yang ingin dirancang melalui Sprint. Bila ruang lingkup yang dibahas terlalu luas, ada kemungkinan waktu dalam Sprint akan habis terpakai untuk membahas masalah dan solusi-solusi terkait. Pembuatan sketsa pun sifatnya terbatas, sementara pembuatan prototipe dan pengujiannya justru tidak dilakukan.
Kami pernah menghadiri beberapa sesi Sprint dengan ruang lingkup yang terlalu luas. Baik disengaja maupun tidak, hasil yang diperoleh dari Sprint tersebut hanya berupa kumpulan sketsa dan deskripsi yang menjelaskan sketsa tersebut. Para perwakilan target pengguna tetap dilibatkan dalam Sprint, tapi peran mereka terbatas pada pembuatan sketsa. Ruang lingkup yang terlalu luas menyebabkan waktu yang dimiliki tidak cukup untuk mengubah sketsa menjadi prototipe yang realistis, apalagi untuk melakukan pengujian.
Kondisi tersebut tidak dapat memberikan hasil yang optimal karena sebaik apa pun kritik dan saran yang berbasis sketsa, kritik dan saran dari pengujian sebuah prototipe tetap lebih baik. Risiko terjadi kesalahan dalam produk yang dikembangkan pun akan lebih besar bila hanya mengacu kepada sketsa. Tujuan utama Sprint, yaitu memperpendek siklus perolehan umpan balik dari target pengguna tanpa harus mengeluarkan waktu, tenaga, dan biaya yang tinggi untuk membuat produk [1], tidak akan tercapai secara optimal bila hanya mengandalkan sketsa.
Kolaborasi
Hal yang penting untuk diingat adalah tatap muka antarpihak terkait dalam waktu dan tempat yang sama selama lima hari adalah untuk memaksimalkan kolaborasi. Kolaborasi itu bukan sekadar kolaborasi, tapi kolaborasi yang komprehensif mulai dari identifikasi masalah, identifikasi solusi, hingga pengujian prototipe. Pendapat para ahli, masukan para perwakilan target pengguna, atau informasi lain digali bukan hanya untuk membuat sketsa, tapi untuk membuat prototipe. Prototipe tersebut adalah wujud dari solusi yang telah dipilih. Oleh karena itu, pembuatan dan pengujian prototipe menjadi penting karena kedua kegiatan tersebut merupakan proses verifikasi dan validasi terhadap solusi yang dipilih.
Dalam kondisi tertentu, misalnya di masa “jaga jarak aman” seperti sekarang ini, urgensi tatap muka pada waktu dan tempat yang sama tetap valid. Hal yang perlu dilakukan adalah mewujudkannya semaksimal mungkin. Beberapa perangkat penunjang seperti video conference, collaborative drawing, task management, atau testing tools memiliki peranan yang sangat penting dalam kondisi ini. Koneksi Internet yang stabil juga menjadi keharusan. Dengan semua itu, kolaborasi yang komprehensif dalam Sprint tetap dapat diwujudkan.
Durasi
Durasi pun tidak kalah penting untuk diperhatikan. Walaupun lima hari terkesan dibuat pas dengan durasi hari kerja selama satu pekan, alasan di balik itu sebenarnya cukup kuat. Bila waktunya kurang dari lima hari, risikonya waktu yang dimiliki tidak cukup untuk membuat dan menguji sebuah prototipe. Sebaliknya bila lebih dari lima hari, risikonya fokus berkurang sehingga ruang lingkup Sprint turut melebar. Walaupun begitu, penekanannya bukan pada “5 hari”, tapi pada jumlah hari yang cukup untuk melakukan Sprint secara komprehensif. Contohnya bila Sprint harus dijalankan secara virtual, durasi yang dibutuhkan mungkin lebih dari 5 hari. Hal itu dapat dimaklumi selama setiap tahap dalam Sprint dapat dilakukan dengan baik.
Pada intinya, penerapan Design Sprint tidak mungkin lepas dari risiko kegagalan. Akan tetapi, gagalnya Sprint bukan berarti tanpa hasil sama sekali. Bila setiap keluaran, yaitu pernyataan masalah, pilihan solusi, sketsa dari solusi, prototipe dari sketsa, hingga hasil pengujian prototipe tetap terwujud, hasil Sprint tetap bermanfaat untuk dijadikan kompas pengembangan produk yang sebenarnya. Kuncinya ada pada penentuan “tantangan”, kolaborasi yang maksimal, dan komitmen untuk menjalankan Sprint secara utuh.
Baca juga: Metode Design Sprint Menuju Visi Produk Solid dalam Lima Hari
Referensi
[1] | GV, “The Design Sprint,” [Online]. Available: https://www.gv.com/sprint/. [Diakses 28 Mei 2020]. |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR