Menurut Johny Siswadi (Ketua Bidang Regulasi, Hukum dan Kebijakan Telematika MASTEL), untuk tahun 2022 dan ke depannya, MASTEL menyoroti berbagai kebijakan seputar TIK alias ICT. Dua di antaranya mengenai infrastruktur digital dan 5G. MASTEL menyebutkan, meski infrastruktur digital kini sudah makin luas ketersediannya di tanah air, sampai saat ini masih terdapat sekitar 12.500 desa di Indonesia yang belum memiliki koneksi internet. MASTEL menambahkan bahwa pemerintah menargetkan seluruh desa di Indonesia bisa beroleh koneksi internet pada tahun 2022.
Sementara, untuk 5G, MASTEL melihat pemerintah belum memiliki kebijakan 5G yang memadai. Meski sekarang jaringan seluler 5G telah tersedia di sebagian daerah di Indonesia, kinerja yang ditawarkan belum optimal antara lain karena keterbatasan spektrum frekuensi. Johny Siswadi berharap apabila nantinya spektrum frekuensi untuk 5G telah mendapatkan tambahan, misalnya dengan membebaskan pita frekuensi 700 MHz dan menggunakannya untuk 5G mulai tahun 2023 atau 2024, 5G di Indonesia bisa berjalan dengan lebih baik.
Huawei sendiri memiliki produk yang bisa membantu perihal infrastruktur digital dan 5G tersebut. Huawei contohnya memiliki RuralStar dan Blade AAU Pro. Huawei mengeklaim RuralStar memiliki dimensi yang relatif ringkas, bisa dipasang pada tiang kayu — “tower” kayu, hemat energi dan bisa ditenagai oleh cahaya matahari — sistem sel surya, serta membutuhkan waktu dan biaya pemasangan yang lebih hemat. Huawei RuralStar pun menggunakan backhaul nirkabel yang tidak mesti line of sight dengan node lain untuk terhubung.
Adapun Blade AAU Pro, Huawei mengeklaimnya menggabungkan modul aktif dan pasif dalam satu kotak. Dengan kata lain, menggabungkan massive MIMO dan antena pasif dalam satu kotak. Alhasil, satu Huawei Blade AAU Pro bisa untuk 2G, 3G, 4G, dan 5G sekaligus; memudahkan 5G di-deploy memanfaatkan tiang/tower yang sudah ada. Selain itu, menggunakan Blade AAU Pro juga lebih ringkas karena tidak perlu lebih dari satu antena untuk berbagai pita frekuensi.
Green energy, renewable energy, dan clean energy kini makin menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, dunia sedang mengalami pemanasan global alias global warming akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi. Menurut NASA, suhu permukaan bumi saat ini secara rata-rata telah mengalami kenaikan sekitar 1,18° C dibandingkan akhir abad ke-19. Menurut NOAA, rate peningkatanya pun meningkat menjadi lebih dua kali sebelumnya sejak tahun 1981. Suhu bumi yang terlampau tinggi tentu mengancam kehidupan itu sendiri.
Fabby Tumiwa (Executive Director Institute for Essential Services Reform) menjelaskan bahwa kenaikan emisi gas rumah kaca saat ini utamanya dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Fabby Tumiwa menambahkan listrik yang saat ini dihasilkan di dunia, termasuk Indonesia, lebih dari 80%-nya adalah dari pembakaran bahan bakar fosil. Oleh karena itu, emisi gas rumah kaca tersebut harus ditekan agar kenaikan suhu permukaan bumi secara rata-rata tidak lebih dari 1,5° C — suhu yang menurut para ahli menjadi batas atas agar tidak terjadi dampak, seperti cuaca ekstrem, yang lebih parah. Indonesia pun menyetujui batasan itu; Indonesia ingin menurunkan emisi gas rumah kacanya.
KOMENTAR